Kolaborasi al Ahya Minal Iman dan Qoul Pepatah
Tuesday, 13 November 2018
Add Comment
Tentunya kita masih ingat masa-masa ketika duduk
dibangku SD, ketika pelajaran matematika tiba, kita selalu sembunyi agar tidak
disuruh maju mengerjakan tugas dipapan tulis. Ketika ditanya “kenapa kamu
bersembunyi?”
Dengan sigap kita
menjawab, “Saya malu pak, nanti kalau salah diejek sama teman-teman?”
Ketika memasuki masa
remaja kita melakukan hal yang salah, orang tua kita akan berkata, “ bikin malu
keluarga saja”
Saat memasuki usia
dewasa, kita duduk dibangku kuliah dan berhadapan dengan dosen yang sangat
cerdas. Dia tahu jika kita tidak mengerti rumus-rumus abstrak yang ia tulis
dipapan tulis. Kita terdiam, membisu, dan malu jika ketahuan teman kalau kita
bodoh, saat dosen bertanya, “Siapa yang belum mengerti?”
Ketika sudah benar-benar
dewasa, kita akan datang ke tempat-tempat seminar. Ketika seorang pembicara
bertanya, “Bapak, ibu, silahkan jika ada yang ingin dipertanyakan” kita terdiam
dan malu. Dalam hati kita akan berkata, “Masak lulusan S1 bertanya seperti anak
SMA”
Seperti itulah tingkah
kita selama ini, kita selalu malu untuk bertanya sehingga hasil yang kita capai
tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Karena malu juga, seorang mahasiswa
gagal mendapatkan nilai A. Karenanya, jika anda tidak ingin mengalami kegagalan
proses “Buanglah jauh-jauh rasa malu, karena itu akan menghambat
keberhasilanmu!”
Sering kali kita mendengar
orang saleh berkata “Malu, sebagian dari iman” kalau kita sempurnakan maknanya
adalah, keimaman seseorang tidak akan sempurna jika ia tidak mempunyai rasa
malu. Sekarang, kita berhak memilih. Apakah kita ingin menjadi orang berhasil
dalam karier menjadi orang yang berkeimanan utuh? Gampang. Jika ingin sukses
dalam berkarier, buanglah rasa malu didalam diri kita! Jika ingi menjadi orang
beriman, pupuk dan hidupkan rasa malu dalam diri kita!
Pemikiran orang yang
hidup di era modern ini telah terkontaminasi oleh hawa nafsu dan hedonisme. Oleh
karena itu kita sering kali mencampakan ajaran-ajaran normatif. Di era yang
serba instan ini, materi menjadi tolak ukur yang paling dominan. Hidup kita
sering dinilai dari jenis kendaraan apa yang kita miliki, kemegahan rumah yang kita huni, label pakaian yang kita
kenakan hingga dipandang berdasarkan gelar yang menempel pada nama kita. Jika
mempunyai jabatan yang tinggi, kita akan dihormati. Namun jika tidak, kita akan
ditinggalkan.
Dengan melihat pola
pandang yang semacam itu tentunya kita akan berfikir bahwa keberhasilan tidak
akan terwujud jika kita malu.
BACA JUGA!!!
Kita kemudian
beranggapan mengapa harus melakukan ini dan itu, melabrak sana sini, menyikut
kanan niri , mengambil, meraut bahkan merenggut milik orang lain supaya dalam
sekejap mendapatkan segala-galanya. Tidak, jangan sekali-kali berpikir demikian
!
Sering kali kita melanggar ungkapan
pepatah ”Malu bertanya sesat dijalan”. Namun disisi lain ada yang mengatakan “
Buanglah rasa malu karena dapat menghambat keberhasilanmu”. Jika memang demikian yang paling benar,
kita harus membuang rasa malu. Malu seperti apa yang pantas kita buang? Untuk
menjawab pertanyaan ini kita perlu berpikir sejenak. Benarkah orang yang malu
bertanya akan sesat dijalan? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Jika mempunyai
GPS maka kita tidak perlu bertanya untuk mencapai ketempat tujuan. Jadi,
membuang rasa malu adalah memantaskan diri kita agar tidak salah jalan.
Bisa dikatakan orang
beriman akan menggunakan rasa malu untuk mewujudkan impiannya. Dengan adanya
pertimbangan tersebut, orang yang memiliki rasa malu akan sadar bahwa bertanya
merupakan tugas yang tidak boleh ditinggalkan ketika ia tidak tahu tentang
suatu hal. Seorang yang beriman akan malu jika ia telah belajar banyak hal tapi
hidupnya stagnan. Dapat dikatakan, orang yang mempunyai rasa malu akan selalu
bertanggung jawab dengan segala hal yang ia miliki. Ia akan bersaha mengembangkan bakat yang dimilikinya dan
menjadi orang yang luar biasa.
Seorang atasan yang
beriman akan malu jika semua permasalahan dtimpahkan kepada anak buahnya. Apa
fungsi atasan jika demikian? Seorang anak buah yang beriman akan malu jika keberadaannya
sama sekali tidak menyebabkan segala sesuatunya lebih mudah bagi sang atasan.
Apa gunanya seorang bawahan kalau demikian? Seorang kolega yang beriman, akan
malu jika keberadannya sama sekali tidak membuat teamnya merasa terbantu. Dan
seorang pegawai, malu jika semua tugas-tugasnya terbengkalai. Seorang karyawan,
malu jika kedatanganya menuju kantor selalu terlambat, dan biasa pulang
cepat-cepat. Dan orang yang beriman, malu jika menyia-nyiakan kesempatan untuk
dipromosikan sehingga dia akan berusaha sekuat tenaga, agar memiliki kualitas
yang jauh lebih baik dari teman-temanya yang lain. Agar nanti jika ada lowongan
jabatan yang lebih tinggi tidak ragu memilihnya untuk dipromosikan. Sebab, rasa
malu adalah sebagian dari iman.
Kita bisa menjadi orang
beriman yang sukses bukan? tentu saja bisa. Dengan konsep malu adalah Iman,
kita benar-benar akan meraih kesuksesan dalam hidup dan mati. Kita dibimbing
untuk menjadi pribadi pribadi yang unggul dan bisa diandalkan, layak diberi
tanggung jawab patut untuk menjadi panutan, dan pantas dijadikan tempat dimana
orang lain mendapat pencerahan. Setelah mati kita akan diingat karena telah
meninggalkan jejak-jejak keterpujian.
BACA JUGA!!!
0 Response to " Kolaborasi al Ahya Minal Iman dan Qoul Pepatah"
Post a Comment